Detective Conan

Selasa, 12 November 2013

Cerpen: Rasa Hidupnya


RASA HIDUPNYA


Mendung pekat telah memayungi kota kecil ini. Sebuah kota kecil yang terletak di tengah pulau Jawa. Citra mempercepat laju kakinya, ia tidak ingin terkena marah tantenya lagi, jika sampai seragamnya basah karena hujan. Seragam yang ia dapatkan dengan bersusah payah. Seragam dari sekolah ternama di desa kecil itu,  yang ia dapatkan dengan beasiswa.
Nafasnya memburu memerintahkannya untuk menghentikan langkah yang semakin tidak terkendali. Namun pikirnya tidak ingin menuruti, ia ingat kemarin ketika tantenya marah besar kepadanya saat ia lihat seragam yang ia kenakan telah basah oleh air hujan. Semakin lama langkahnya semakin melambat, tidak sebanding dengan keringatnya yang bercucuran.

“Akhirnya…” suaranya bahkan hampir tak terdengar lagi. Dengan pelan dan berhati-hati, ia menapakkan kakinya masuk ke dalam rumah. Dengan takut-takut ia melirik ke sebelah kanan ruang tamu yang tidak begitu besar itu. Disana duduk tantenya yang sedang membaca Koran harian. Ia hendak menyapa namun takut apabila apa yang ia lakukan itu salah, dan akhirnya ia berjalan dengan pelan kebelakang.

Citra duduk di tempat tidurnya yang tidak bisa jika dikatakan empuk. Di kamarnya sama sekali tidak ada sesuatu yang berharga. Ruangan sempit itu hanya bermuat tempat tidur kecil, lemari baju usang, dan sebuah meja belajar. Dan ia harus menerima semuanya dengan lapang dada. Dan lagi-lagi, Citra menangis dalam diam.

Semenjak ayahnya yang merupakan dosen di sebuah Universitas terkenal meninggal dunia karena kanker, serta tak lama setelah itu ibunya menyusul karena tertabrak mobil, ia dan adiknya harus di titipkan kepada keluarga yang lain. Sekarang bahkan ia bisa dibilang tidak pernah bertemu dengan adiknya lagi. Apa ia sehat? Apa ia baik-baik saja disana? Hanya itulah yang ada di pikirannya.

Seketika pinta dibuka dengan kasar dan menyebabkan pintu lapuk yang mengeluarkan bunyi itu hampir saja roboh. “Pekerjaanmu masih banyak…” suara melengking tantenya segera saja membuatnya reflek  berdiri dengan takut. Ia mengangguk dan kemudian berjalan ke belakang. Setelah ia mengganti pakaian, semua pekerjaan di rumah itu adalah miliknya, yang artinya harus ia kerjakan sendiri.

Terkadang ia lelah dan ingin istirahat, namun ia tidak kuat jika harus terkena marah oleh tantenya lagi dan lagi. Ia sangat rindu dengan keluarganya yang dulu, keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Hidupnya dulu serba kecukupan, ayah dan ibunya dulu sangat menyayangi dia dan adiknya. Namun tanpa disadari, semua hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang benar-benar terbalik dari sebelumnya.

Ia sadar, hidupnya tak akan bisa di kembalikan lagi seperti dulu. Sering sekali ia merasa lelah dan ingin segera mengakhiri semuanya, namun kepercayaan akan bantuan Allah telah mengalahkan segala keputus asaannya. Adiknya, sekarang hanya ia yang bisa membuatnya bahagia. Mungkin belum begitu lama mereka berpisah, namun apa daya, jika rindu telah menyelimutinya.

Hari demi hari ia lalui dengan tetesan peluh yang tidak sedikit, bahkan di sela tetes demi tetes itu ada juga air mata yang tercampur di dalamnya. Ia selalu berdoa dan memohon bantuan akan semua yang ia hadapi. Dan suatu pagi yang suram karena sedari tadi hujan turun tiada tanda ungkapan berhenti. “Tante…” dengan takut ia memanggil tantenya yang tengah duduk di lincak atau biasa di sebut dengan kursi bambu.

Tantenya menoleh dengan kasar dan menatapnya seolah ingin berkata ‘kau hanya menggangguku, untuk apa kau kemari. Cepat selesaikan pekerjaanmu!’  namun semua itu tak membuat hati Citra gontai, ia bahkan memberanikan dirinya untuk mendekat ke arah tantenya. “Tante, apa Citra boleh bertemu adik?” tanyanya takut-takut. Lama tidak ada jawaban dari tantenya, Citra hanya menunggu dengan jantung yang semakin berdegub cepat.

“Kau tahu, untuk pergi ke tempat adikmu itu harus menggunakan kendaraan umum karena tempatnya jauh. Dan kau tahu kendaraan umum itu membutuhkan duit…!” mendadak tantenya langsung menjawab dengan teriakan yang membuat beberapa tetangga sekitar menoleh. Citra hanya menundukkan kepala dan kemudian masuk kembali ke rumah.
Di kamarnya, ia meremas-remas ujung kaosnya, ia tidak ingin menangis. Ia ingin menjadi tegar seperti apa yang telah ia katakan kepada adiknya dulu sebelum mereka berpisah. Namun semakin lama ia menahan tangisnya, kepalanya justru sakit dan ia menghentikan meremas kaosnya. Citra bangkit dan menuju ke belakang.

Ia menatap sumur tua yang ada di belakang rumah. Ia harus menimba air dari bawah sana untuk mandi, mencuci serta memasak. Dan kini ia hanya memandangi bayangan yang terpantul di dalam sumur itu. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, namun ia merasakam ada kedamainan tersendiri baginya jika menatap jauh ke dalam sana.
Dan akhirnya ia duduk di balik sumur sambil menekuk lutut. “Apa yang harus aku lakukan?” jeritnya dalam sunyi. “Aku hanya ingin bertemu dengan adikku, kenapa itu sangat sulit…?” sambungnya lagi. Ia menangis, ia rindu akan semuanya yang pernah ia miliki. Awalnya ia tertawa akan semua hal, dan sekarang ia menangis, dan inilah dunia yang tidak bisa kita prediksi.
Dan malam itu, Citra mengemasi barang-barangnya. Ia berniat untuk keluar dari rumah tantenya yang sudah bagai penjara baginya. “Aku telah berjanji akan menjadi anak yang baik disini. Namun jika seperti ini terus, aku bisa gila nantinya” katanya seraya keluar dari jendela. Dalam kegelapan desa kecil, ia berjalan tanpa mengenal takut. Ia selalu berdoa kepada Allah agar apa yang ia lakukan tidak mendapatkan rintangan.

Ia berjalan cukup jauh. Dan kini ia tersesat, ia sama sekali tidak memikirkan semuanya dengan matang. Ia hanya menuruti hatinya yang ingin segera bertemu dengan adiknya dan bersama lagi menghadapi kehidupan yang berat bagi mereka. Ia tidak memiliki uang yang cukup untuk naik kendaraan umum. Dan kini ia hanya duduk sendiri di depan sebuah toko yang kebetulan tutup.

Dan tanpa modal apapun, ia memutuskan untuk bekerja. Ia melamar menjadi pelayan toko di berbagai tempat, namun semuanya menolaknya. Dan hanya ada sebuah toko, toko alat tulis tua yang mau menerimanya karena kasihan melihat keadaannya yang kini telah memburuk. Sepasang suami istri pemilik toko memperlakukannya seperti anak sendiri, dan ia merasa sangat beruntung.

Sampai suatu hari pasangan suami istri itu sepakat untuk menyekolahkan Citra lagi. dan kini ia duduk di kelas 1 SMA. SMA standar di kota yang bahkan tidak ia tahu itu. Karena kesadarannya akan balas budi, ia berusaha keras agar mendapat peringkat 1 di kelas agar pasangan suami istri yang telah menyekolahkannya itu tidak merasa sia-sia melakukan hal mulia itu.

Karena pasangan suami istri itu tidak memiliki anak, akhirnya mereka mengangkat Citra menjadi anaknya. Citra disekolahkan hingga ia sarjana, dan sekarang ia sudah bekerja di salah satu perusahaan ternama di kota besar yang jauh dari sana. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan sedikit melupakan tentang adiknya. Semenjak ia sekolah dan kini bekerja, ia sudah jarang bahkan bisa di bilang tidak pernah menangis ataupun mengatakan bahwa ia rindu dengan adiknya.

Seakan hanya sebuah berkas kenangan, adik kecil yang selalu ia rindukan tiba-tiba hilang begitu saja dari pikirannya. Ia terlalu sibuk bekerja dan telah mendapatkan gaji yang tidak bisa dibilang sedikit, hingga kini ia bahkan telah lupa akan pasangan suami istri yang telah menyekolahkannya. Ia menjadi gadis yang sombong dan selalu membanggakan dirinya.
Pasangan suami istri yang kini hidup di desa merasa prihatin akan dia yang sudah tidak pernah menghubunginya. Sampai mereka melihat di Koran-koran dan televisi bahwa Citra telah menjadi sebuah direktur di perusahaan ternama. Mereka menangis, mereka bahagia karena usaha mereka tak sia-sia, namun mereka juga sedih karena bukan ini yang mereka inginkan. Mereka ingin Citra menjadi anak yang selalu ingat tidak seperti ‘kacang lupa kulitnya’.

Sampai suatu hari, seorang pemuda datang ke kantornya. “Selamat siang, ada apa?” tanya Citra dengan nada sombongnya. Pemuda itu hanya tersenyum dan kemudian duduk tanpa dipersilahkan. “Anda Aulia Citra?” tanya pemuda itu dengan sangat berwibawa. “Ya” jawab Citra tegas. Dan sekali lagi pemuda itu hanya tersenyum. “Ada yang bisa saya bantu?” kata Citra, namun perkataannya tak kunjung pemuda itu jawab.

Dan seketika pemuda itu menjulurkan tangannya. Tidak, ia tidak ingin bersalaman dengan Citra namun ia ingin menunjukkan sesuatu di tangannya. Ia menunjukkan sebuah luka jahitan panjang di tangannya. “Apa maksudmu? Aku ini direktur perusahaan, bukan dokter kulit…” katanya dengan ketus.

Pemuda itu kemudian menarik kembali tangannya. “Anda lihat luka jahitan saya?” tanya pemuda itu masih dengan senyumnya. Citra mengangguk remeh. “Mungkin lukanya telah sembuh, namun bekasnya masih tersisa…” seru pemuda itu. Citra semakin bingung dan menyernyitkan keningnya. “Apa maksudmu mengatakan hal yang tidak penting?” tanyanya dengan ketus.

Pemuda itu tersenyum, kali ini senyumnya adalah sebuah senyum yang meremehkan. “Anda benar-benar sudah buta. Maksud saya menunjukkan luka itu kepada anda, adalah agar anda mengingat semuannya dari awal. Anda ingat dia…?” pemuda itu menjulurkan foto kepada Citra. Itu adalah foto adik Citra ketika ia masih kecil dulu. Citra terkejut dan memandang foto itu lekat-lekat.

“Dicky Kusuma, dia adikmu bukan? Kenapa kau baru terkejut sekarang? kenapa kau baru terkejut setelah semuanya terlambat. Kau benar-benar telah buta. Seperti yang aku katakan tadi, lukaku sudah tidak sakit, namun bekasnya masih terpampang dengan jelas. Dan kau hanya menganggapnya sebagai bekas luka yang tak ada artinya, kau tidak pernah  mengingat kembali bagaimana luka itu bisa terjadi, meski itu sakit…” pemuda itu berhenti dan mengambil nafas.

“Citra, kau sombong. Kau lupakan semuanya. Dulu memang kau telah bekerja keras untuk mencapai semua ini, namun kau melupakan awal dari bagaimana kau bisa seperti ini. Kau telah melupakan pasangan suami istri yang dulu menyekolahkanmu, kau telah melupakan adikmu yang memberimu semangat. Kau lupa mereka semua…” Citra menangis terisak.

“Kenapa kau menangis. Kau sudah bahagia bukan? Dan aku hanya ingin menyampaikan. Jika semuanya sudah kembali sekarang. Adikmu, tantemu, pasangan suami istri yang telah menyekolahkanmu mereka semua sudah tidak ada di dunia ini. Dan yang mereka inginkan ialah melihatmu menjadi sukses seperti ini. Ingat, sekarang kau telah dapatkan apa yang kau mau, namun kau melupakan apa yang kau butuhkan. Nikmatilah hidupmu, Citra…” pemuda itu beranjak dan pergi dari sana.

Sesaat setelah pemuda itu melangkah meninggalkan perusahaan, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang sangat keras dan api berkobar dimana-mana memakan semua yang ada di sana. Perusahaan itu kini telah menjadi puing-puing yang tidak berarti. Dan pemuda itu memandangi Citra yang terseok-seok melangkah menjauhi bangunan itu.

“Kembalilah berusaha. Maka kau akan mengerti semuanya dengan jelas. Kau seharusnya merasa beruntung. Sekarang kau bisa mengulang semuanya dari awal.  Berusahalah…” pemuda itu melangkah pergi.


“Kakak…” sambungnya sambil melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

1 komentar:

  1. Tinted with titanium glasses | Tinted with titanium glasses
    Tinted with titanium glasses | titanium ingot Tinted with ti 89 titanium calculator titanium does titanium set off metal detectors glasses | Tinted with titanium titanium prices glasses | Tinted with titanium glasses | Tinted with titanium glasses titanium legs | Tinted with

    BalasHapus