RASA HIDUPNYA
Mendung pekat telah memayungi
kota kecil ini. Sebuah kota kecil yang terletak di tengah pulau Jawa. Citra
mempercepat laju kakinya, ia tidak ingin terkena marah tantenya lagi, jika
sampai seragamnya basah karena hujan. Seragam yang ia dapatkan dengan bersusah
payah. Seragam dari sekolah ternama di desa kecil itu, yang ia dapatkan dengan beasiswa.
Nafasnya memburu memerintahkannya
untuk menghentikan langkah yang semakin tidak terkendali. Namun pikirnya tidak
ingin menuruti, ia ingat kemarin ketika tantenya marah besar kepadanya saat ia
lihat seragam yang ia kenakan telah basah oleh air hujan. Semakin lama
langkahnya semakin melambat, tidak sebanding dengan keringatnya yang
bercucuran.
“Akhirnya…” suaranya bahkan
hampir tak terdengar lagi. Dengan pelan dan berhati-hati, ia menapakkan kakinya
masuk ke dalam rumah. Dengan takut-takut ia melirik ke sebelah kanan ruang tamu
yang tidak begitu besar itu. Disana duduk tantenya yang sedang membaca Koran
harian. Ia hendak menyapa namun takut apabila apa yang ia lakukan itu salah,
dan akhirnya ia berjalan dengan pelan kebelakang.
Citra duduk di tempat tidurnya
yang tidak bisa jika dikatakan empuk. Di kamarnya sama sekali tidak ada sesuatu
yang berharga. Ruangan sempit itu hanya bermuat tempat tidur kecil, lemari baju
usang, dan sebuah meja belajar. Dan ia harus menerima semuanya dengan lapang
dada. Dan lagi-lagi, Citra menangis dalam diam.
Semenjak ayahnya yang merupakan
dosen di sebuah Universitas terkenal meninggal dunia karena kanker, serta tak
lama setelah itu ibunya menyusul karena tertabrak mobil, ia dan adiknya harus
di titipkan kepada keluarga yang lain. Sekarang bahkan ia bisa dibilang tidak
pernah bertemu dengan adiknya lagi. Apa ia sehat? Apa ia baik-baik saja disana?
Hanya itulah yang ada di pikirannya.
Seketika pinta dibuka dengan
kasar dan menyebabkan pintu lapuk yang mengeluarkan bunyi itu hampir saja
roboh. “Pekerjaanmu masih banyak…” suara melengking tantenya segera saja
membuatnya reflek berdiri dengan takut. Ia mengangguk dan
kemudian berjalan ke belakang. Setelah ia mengganti pakaian, semua pekerjaan di
rumah itu adalah miliknya, yang artinya harus ia kerjakan sendiri.
Terkadang ia lelah dan ingin
istirahat, namun ia tidak kuat jika harus terkena marah oleh tantenya lagi dan
lagi. Ia sangat rindu dengan keluarganya yang dulu, keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Hidupnya
dulu serba kecukupan, ayah dan ibunya dulu sangat menyayangi dia dan adiknya.
Namun tanpa disadari, semua hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk
mengubahnya menjadi sesuatu yang benar-benar terbalik dari sebelumnya.
Ia sadar, hidupnya tak akan bisa
di kembalikan lagi seperti dulu. Sering sekali ia merasa lelah dan ingin segera
mengakhiri semuanya, namun kepercayaan akan bantuan Allah telah mengalahkan
segala keputus asaannya. Adiknya, sekarang hanya ia yang bisa membuatnya
bahagia. Mungkin belum begitu lama mereka berpisah, namun apa daya, jika rindu
telah menyelimutinya.
Hari demi hari ia lalui dengan
tetesan peluh yang tidak sedikit, bahkan di sela tetes demi tetes itu ada juga
air mata yang tercampur di dalamnya. Ia selalu berdoa dan memohon bantuan akan
semua yang ia hadapi. Dan suatu pagi yang suram karena sedari tadi hujan turun
tiada tanda ungkapan berhenti. “Tante…” dengan takut ia memanggil tantenya yang
tengah duduk di lincak atau biasa di
sebut dengan kursi bambu.
Tantenya menoleh dengan kasar dan
menatapnya seolah ingin berkata ‘kau
hanya menggangguku, untuk apa kau kemari. Cepat selesaikan pekerjaanmu!’ namun semua itu tak membuat hati Citra gontai,
ia bahkan memberanikan dirinya untuk mendekat ke arah tantenya. “Tante, apa
Citra boleh bertemu adik?” tanyanya takut-takut. Lama tidak ada jawaban dari
tantenya, Citra hanya menunggu dengan jantung yang semakin berdegub cepat.
“Kau tahu, untuk pergi ke tempat adikmu
itu harus menggunakan kendaraan umum karena tempatnya jauh. Dan kau tahu
kendaraan umum itu membutuhkan duit…!” mendadak tantenya langsung menjawab
dengan teriakan yang membuat beberapa tetangga sekitar menoleh. Citra hanya
menundukkan kepala dan kemudian masuk kembali ke rumah.
Di kamarnya, ia meremas-remas
ujung kaosnya, ia tidak ingin menangis. Ia ingin menjadi tegar seperti apa yang
telah ia katakan kepada adiknya dulu sebelum mereka berpisah. Namun semakin
lama ia menahan tangisnya, kepalanya justru sakit dan ia menghentikan meremas
kaosnya. Citra bangkit dan menuju ke belakang.
Ia menatap sumur tua yang ada di
belakang rumah. Ia harus menimba air dari bawah sana untuk mandi, mencuci serta
memasak. Dan kini ia hanya memandangi bayangan yang terpantul di dalam sumur
itu. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, namun ia merasakam ada
kedamainan tersendiri baginya jika menatap jauh ke dalam sana.
Dan akhirnya ia duduk di balik
sumur sambil menekuk lutut. “Apa yang harus aku lakukan?” jeritnya dalam sunyi.
“Aku hanya ingin bertemu dengan adikku, kenapa itu sangat sulit…?” sambungnya
lagi. Ia menangis, ia rindu akan semuanya yang pernah ia miliki. Awalnya ia
tertawa akan semua hal, dan sekarang ia menangis, dan inilah dunia yang tidak
bisa kita prediksi.
Dan malam itu, Citra mengemasi
barang-barangnya. Ia berniat untuk keluar dari rumah tantenya yang sudah bagai
penjara baginya. “Aku telah berjanji akan menjadi anak yang baik disini. Namun
jika seperti ini terus, aku bisa gila nantinya” katanya seraya keluar dari
jendela. Dalam kegelapan desa kecil, ia berjalan tanpa mengenal takut. Ia
selalu berdoa kepada Allah agar apa yang ia lakukan tidak mendapatkan
rintangan.
Ia berjalan cukup jauh. Dan kini
ia tersesat, ia sama sekali tidak memikirkan semuanya dengan matang. Ia hanya
menuruti hatinya yang ingin segera bertemu dengan adiknya dan bersama lagi
menghadapi kehidupan yang berat bagi mereka. Ia tidak memiliki uang yang cukup
untuk naik kendaraan umum. Dan kini ia hanya duduk sendiri di depan sebuah toko
yang kebetulan tutup.
Dan tanpa modal apapun, ia
memutuskan untuk bekerja. Ia melamar menjadi pelayan toko di berbagai tempat,
namun semuanya menolaknya. Dan hanya ada sebuah toko, toko alat tulis tua yang
mau menerimanya karena kasihan melihat keadaannya yang kini telah memburuk.
Sepasang suami istri pemilik toko memperlakukannya seperti anak sendiri, dan ia
merasa sangat beruntung.
Sampai suatu hari pasangan suami
istri itu sepakat untuk menyekolahkan Citra lagi. dan kini ia duduk di kelas 1
SMA. SMA standar di kota yang bahkan tidak ia tahu itu. Karena kesadarannya
akan balas budi, ia berusaha keras agar mendapat peringkat 1 di kelas agar
pasangan suami istri yang telah menyekolahkannya itu tidak merasa sia-sia
melakukan hal mulia itu.
Karena pasangan suami istri itu
tidak memiliki anak, akhirnya mereka mengangkat Citra menjadi anaknya. Citra
disekolahkan hingga ia sarjana, dan sekarang ia sudah bekerja di salah satu
perusahaan ternama di kota besar yang jauh dari sana. Ia bekerja dengan
sungguh-sungguh dan sedikit melupakan tentang adiknya. Semenjak ia sekolah dan
kini bekerja, ia sudah jarang bahkan bisa di bilang tidak pernah menangis
ataupun mengatakan bahwa ia rindu dengan adiknya.
Seakan hanya sebuah berkas
kenangan, adik kecil yang selalu ia rindukan tiba-tiba hilang begitu saja dari
pikirannya. Ia terlalu sibuk bekerja dan telah mendapatkan gaji yang tidak bisa
dibilang sedikit, hingga kini ia bahkan telah lupa akan pasangan suami istri
yang telah menyekolahkannya. Ia menjadi gadis yang sombong dan selalu
membanggakan dirinya.
Pasangan suami istri yang kini
hidup di desa merasa prihatin akan dia yang sudah tidak pernah menghubunginya.
Sampai mereka melihat di Koran-koran dan televisi bahwa Citra telah menjadi
sebuah direktur di perusahaan ternama. Mereka menangis, mereka bahagia karena
usaha mereka tak sia-sia, namun mereka juga sedih karena bukan ini yang mereka
inginkan. Mereka ingin Citra menjadi anak yang selalu ingat tidak seperti
‘kacang lupa kulitnya’.
Sampai suatu hari, seorang pemuda
datang ke kantornya. “Selamat siang, ada apa?” tanya Citra dengan nada
sombongnya. Pemuda itu hanya tersenyum dan kemudian duduk tanpa dipersilahkan.
“Anda Aulia Citra?” tanya pemuda itu dengan sangat berwibawa. “Ya” jawab Citra
tegas. Dan sekali lagi pemuda itu hanya tersenyum. “Ada yang bisa saya bantu?”
kata Citra, namun perkataannya tak kunjung pemuda itu jawab.
Dan seketika pemuda itu
menjulurkan tangannya. Tidak, ia tidak ingin bersalaman dengan Citra namun ia
ingin menunjukkan sesuatu di tangannya. Ia menunjukkan sebuah luka jahitan
panjang di tangannya. “Apa maksudmu? Aku ini direktur perusahaan, bukan dokter
kulit…” katanya dengan ketus.
Pemuda itu kemudian menarik
kembali tangannya. “Anda lihat luka jahitan saya?” tanya pemuda itu masih
dengan senyumnya. Citra mengangguk remeh. “Mungkin lukanya telah sembuh, namun
bekasnya masih tersisa…” seru pemuda itu. Citra semakin bingung dan
menyernyitkan keningnya. “Apa maksudmu mengatakan hal yang tidak penting?”
tanyanya dengan ketus.
Pemuda itu tersenyum, kali ini
senyumnya adalah sebuah senyum yang meremehkan. “Anda benar-benar sudah buta. Maksud
saya menunjukkan luka itu kepada anda, adalah agar anda mengingat semuannya
dari awal. Anda ingat dia…?” pemuda itu menjulurkan foto kepada Citra. Itu
adalah foto adik Citra ketika ia masih kecil dulu. Citra terkejut dan memandang
foto itu lekat-lekat.
“Dicky Kusuma, dia adikmu bukan?
Kenapa kau baru terkejut sekarang? kenapa kau baru terkejut setelah semuanya
terlambat. Kau benar-benar telah buta. Seperti yang aku katakan tadi, lukaku
sudah tidak sakit, namun bekasnya masih terpampang dengan jelas. Dan kau hanya
menganggapnya sebagai bekas luka yang tak ada artinya, kau tidak pernah mengingat kembali bagaimana luka itu bisa
terjadi, meski itu sakit…” pemuda itu berhenti dan mengambil nafas.
“Citra, kau sombong. Kau lupakan
semuanya. Dulu memang kau telah bekerja keras untuk mencapai semua ini, namun
kau melupakan awal dari bagaimana kau bisa seperti ini. Kau telah melupakan
pasangan suami istri yang dulu menyekolahkanmu, kau telah melupakan adikmu yang
memberimu semangat. Kau lupa mereka semua…” Citra menangis terisak.
“Kenapa kau menangis. Kau sudah
bahagia bukan? Dan aku hanya ingin menyampaikan. Jika semuanya sudah kembali
sekarang. Adikmu, tantemu, pasangan suami istri yang telah menyekolahkanmu
mereka semua sudah tidak ada di dunia ini. Dan yang mereka inginkan ialah
melihatmu menjadi sukses seperti ini. Ingat, sekarang kau telah dapatkan apa
yang kau mau, namun kau melupakan apa yang kau butuhkan. Nikmatilah hidupmu,
Citra…” pemuda itu beranjak dan pergi dari sana.
Sesaat setelah pemuda itu
melangkah meninggalkan perusahaan, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang
sangat keras dan api berkobar dimana-mana memakan semua yang ada di sana.
Perusahaan itu kini telah menjadi puing-puing yang tidak berarti. Dan pemuda
itu memandangi Citra yang terseok-seok melangkah menjauhi bangunan itu.
“Kembalilah berusaha. Maka kau
akan mengerti semuanya dengan jelas. Kau seharusnya merasa beruntung. Sekarang
kau bisa mengulang semuanya dari awal.
Berusahalah…” pemuda itu melangkah pergi.
“Kakak…” sambungnya sambil
melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Tinted with titanium glasses | Tinted with titanium glasses
BalasHapusTinted with titanium glasses | titanium ingot Tinted with ti 89 titanium calculator titanium does titanium set off metal detectors glasses | Tinted with titanium titanium prices glasses | Tinted with titanium glasses | Tinted with titanium glasses titanium legs | Tinted with